http://daenkblog.blogspot.com

Selasa, 15 November 2011

Bab II. Kurang Energi Protein (KEP)

 Pendahuluan

KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP.
Penyakit akibat KEP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit.
Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KEP timbul pada anggota keluarga rumahtangga miskin olek karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian. Bentuk berat dari KEP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem).
Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu masih ada ± 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara normal.

Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat.
 Besar dan Luas Masalah KEP
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis. Pengejawantahan KEP terlihat dari keadaan fisik seseorang yang diukur secara Antropometri.
Besar dan luasnya masalah KEP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui SUSENAS modul kesehatan dan gizi. Analisis masalah KEP pada balita berdasarkan data Susenas 1989, 1992, dan 1995 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KEP total dari 47,8% tahun 1989 menjadi 41,7% tahun 1982 dan 35% pada tahun 1995. Di sisi lain, prevalensi gizi lebih meningkat dari 1,1% tahun 1989 menjadi 2,4% tahun 1992 dan 4,6% pada tahun 1995.

Keadaan gizi balita yang tinggal di pedesaan cenderung lebih buruk dibanding balita yang tinggal di perkotaan; dan keadaan gizi balita perempuan relatif lebih baik dibanding balita laki-laki. Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KEP sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KEP pada balita, dari data Susenas, seiring sejalan dengan menurunnya jumlah penduduk dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan. Dengan perkataan lain, anggota rumahtangga dari kelompok rawan biologis sekaligus memberikan gambaran ketersediaan pangan, dan rawan biologis memiliki resiko kurang energi protein.
Pada tingkat mikro (rumah tanggat/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit infeksi yang juga menggambarkan keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor penentu status gizi. UPGK dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi KEP. Peningkatan kedua program ini berdampak positif untuk menurunkan prevalensi KEP. Meskipun demikian keterlibatan aktif masyarakat, organisasi wanita, LSM dan perbaikan keadaan ekonomi mempunyai andil yang besar di dalam keberhasilan meningkatkan status gizi balita.
Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang dilaksanakan sampai saat ini berupa penimbangan balita, penyuluhan gizi (KIE), peningkatan pemanfaatan pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian kapsul vit.A takaran tinggi, pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan beberapa lembaga terkait yang mempunyai tugas dan tanggung jawab saling menopang untuk keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu.
Keterlibatan masyarakat sangat diharapkan dan sekaligus menentukan di dalam pembentukan dan pelaksanaan Posyandu. Hal ini disebabkan keterbatasan tenaga kesehatan yang tersedia dan luasnya. Dengan demikian, peran kader desa yang telah dilatih serta tokoh masyarakat setempat sangat menentukan kelangsungan pelaksanaan posyandu.

Sumber : Aritonang E. 2004. Kurang Energi Protein (Protein Energy Malnutrition). http://respiratory.usu.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar